Abdul Karim Munthe
A. Latar belakang masalah
Indonesia sebagai Negara
yang memiliki luas wilayah daratan mencapai 1.922.570 km², yang didukung luas
perairan 3.257.483 km². Memiliki potensi alam yang besar sebagai motor
penggerak perekonomian masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan
luas tanah yang mereka miliki. Sehingga dapat dipastikan bahwa sebagian besar
penduduk Indonesia agraris. Sebab, masih menggantungkan hidupnya dengan luas tanah
yang dia miliki untuk dijadikan sebagai kebun. Oleh sebab itu sejak dahulu
banyak diantara masyarakat Indonesia terus memperluas tanah yang dia miliki
untuk diwariskan kepada anak keturunannya. Setelah itu kemudian dia menghibahkan
sebagian yang dia miliki. Tradisi ini telah berjalan sejak lama bahkan sebelum
adanya UU Pokok Agraria, pada saat itu mereka menggunakan hukum adat sebagai
tolok ukur sah atau tidaknya hibah yang dilakukan, disamping BW.
Walaupun demikian bukan
berarti hibah yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia hanya terhadap tanah
saja. Semua barang pada umumnya dapat dihibahkan, asalkan sesuai dengan aturan
yang ada dalam islam yaitu barang yang dapat diperjual belikan. Seperti
penghibahan rumah, mobil, gendung, dll, yang dapat digunakan atau diambil
manfaatnya. Hibah dapat dilakukan kepada siapa saja, seperti kepada anak atau
kepada orang lain.
Pada awalnya hibah hanya
diatur dalam BW yang ketentuannya belum dapat mengakomodir kepuasan pemeluk
semua agama. Sampai ada intruksi Presiden Suharto untuk merumuskan kompilasi
hokum islam sebagai pegangan para hakim dalam memutuskan perkara pernikahan,
maka lahirlah KHI yang berisi tiga buku. Buku pertama membahas hukum
perkawinan; buku kedua Hukum Kewarisan; buku ketiga Hukum Perwakafan. Sedangkan
hibah ditentukan dalam pasal 210-214 dari bab ke II. Memang pembahasan hibah
dalam KHI tidak dijadikan dalam satu buku, dan hingga saat ini belum ada UU
yang mengatur Hibah secara khusus seperti wakaf yang sudah memiliki UU khusus
yaitu UU No 41 tahun 2004. walaupun secara yurudis KHI tidak dapat mengikat
namun telah menjadi living law.
Karena itu menjadi penting
bagi penulis untuk menuliskan apa yang dimaksud dengan hibah, apa hukum
penarikan hibah, dan bagaimana hubungan hibah dengan waris.
B. Pengertian hibah
Hibah sebagai pemberian
kepada sesama memiliki fungsi sosial bertujuan untuk saling mempererat hubungan
antara sesame manusia dan kedekatan kepada tuhan karena sifat hibah berkaitan
erat juga dengan hubungan kepada Allah sebagai bukti kecintaan sesama makhluk
ciptaannya. Dalam bahasa belanda hibah atau hadiah disebut dengan schenking.[1]
Sedangkan kata hibah dalam bahasa Indonesia diadobsi dari bahasa arab yang
berasal dari kata wahaba yang berarti memberi. Dalam al-Qur’an kata hibah berseta kara derivatnya
terdapat 25 kali dalam 13 surat.[2]
Sedangkan dalam istilah ada beberapa defenisi yang
ditawarkan baik dari ulama dahulu maupun modern sekarang ini, seperti:
a.
KHI dalam
pasal 171 huruf g menjelaskan:
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela
dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki.
b.
UU Peradilan Agama No 3 tahun 2006 penjelasan pasal 49 huruf d:
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian
suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum
kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
c. BW
dalam pasal 1666:
Penghibahan adalah suatu
persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara
cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang
menerima penyerahan barang itu. Undang-undang
hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
Dari tiga pengertian di atas ada beberapa kata
kunci yaitu pemberian, seseorang atau badan hukum, masih hidup dan dimiliki. Dan
dalam BW dikatakan bahwa barang yang telah dihibahkan tidak dapat ditarik
kembali, tanpa pengecualian. Dengan demikian yang dimaksud dengan hibah adalah
pemberian seseorang atau badan hukum kepada orang lain dalam keadaan sipemberi
masih hidup (ada) walaupun anak kecil, dengan tujuan untuk dimiliki atau
dimanfaatkan sesuai dengan keinginannya. Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa hibah dapat diberikan oleh saiapapun atau instansi manapun
tanpa imbalan, dan diberikan pada saat sipemberi masih hidup. Inilah yang
membedakan antara wasiat yang diberikan pada saat sipemberi telah wafat dengan
hibah yang diberikan pada saat si pemberi hidup.
Hibah disyariatkan bertujuan untuk saling menguatkan
ikatan batin antara sesama sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam
Bukhari yaitu saling memberi hadiahlah kamu akan saling mencintai.
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang
menganjurkan agar saling memberi terhadap sesama manusia diantara dalam surah
al-Munafiqun [63]: 10
(#qà)ÏÿRr&ur `ÏB $¨B Nä3»oYø%yu `ÏiB È@ö6s% br& ÎAù't ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# tAqà)usù Éb>u Iwöqs9 ûÓÍ_s?ö¨zr& #n<Î) 9@y_r& 5=Ìs% X£¢¹r'sù `ä.r&ur z`ÏiB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÊÉÈ
Artinya:
Dan
belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang
kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya
Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang
dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang
saleh?"
Untuk tercapainya hibah yang
memuaskan semua pihak Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa rukun hibah dua yaitu,
ijab dari yang memberi hibah dan qabul dari penerima hibah.[3] Sedangkan Ibn Rusyd dalam kitab
Bidayah al-Mujtahid mengatakan rukun hibah tiga, pertama: Orang yang
menghibahkan, kedua: Orang yang menerima hibah, dan ketiga: barang
yang dihibahkan. Akan tetapi Hanafiah berpendapat bahwa ijab saja sudah cukup tanpa
harus ada pernyataan qabul dari penerima.
Pemberi (pihak pertama) hibah dapat dikatakan sah
ketika empat syarat berikut terpenuhi yaitu, pertama, barang yang
dihibahkan milik nya secara utuh; kedua, bukan dalam keadaan keadaan
terhalang seperti karena sakit, dll; ketiga, baligh, dan; keempat,
akad hibah dalam keadaan ridho (tanpa paksaan).[4] Dalam KHI pasal 210 ayat 1 dijelaskan
bahwa orang yang menghibahkan harus berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak
dalam keadaan terpaksa, dan harta yang dihibahkan paling banyak 1/3 dan harus
dihadapan dua orang saksi. Kemudian ayat dua menjelaskan bahwa barang yang
dihibahkan harus hak milik penghibah. Untuk syarat yang kedua diatas ditanggapi
oleh KHI dengan memberikan kesempatan bagi yang ingi menghibahkan hartanya
dalam keadaan sakit dengan catatan izin dari ahli warisnya, sebagaimana yang
dijelaskan dalam pasal 213 bahwa Hibah
yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan
kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. Pembatasan
yang ada dalam KHI dalam hal usia dan besar hibah berdasarkan pertimbangan
bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan
benda miliknya itu. Demikian juga batasan 1/3 harta kecuali dengan persetujuan
ahli waris.[5]
Dan benda yang dihibahkan diharuskan ada secara
hakiki, benda yang bermanfaat (tidak najis), harta tersebut milik si penghibah
secara utuh. UU No. 41 tahun 2004 menjelaskan bahwa barang yang tidak boleh
diwakafkan adalah barang yang telah dihibahkan, sebagaimana dijelaskan pada
pasal 40 Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: a. dijadikan
jaminan; b. disita; c. dihibahkan; d. dijual; e. diwariskan; f. ditukar; atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Sedangkan setiap orang yang berhak menerima barang
yang dihibahkan dapat mereka terima bahkan walaupun di bawah kuratele
(pengampuan) melalui walinya.[6] Dalam islam tidak disyaratkan bahwa
penerima hibah harus islam, dengan demikian dapat dikatakan bahwa non-muslim
dapat menerima hibah dari muslim.[7]
Warga Negara Indonesia yang berada dilaur negeri
yang ingin memberikan hibah dapat membuat surat di Konsultat atau Kedutaan
Republik Indonesia sebagiamana yang dijelaskan dalam pasal 214 yang berbunyi, Warga
negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di
hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya
tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.
Hibah dapat diberikan dalam bentuk lisan maupun
tulisan. Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut
terdapat 2 (dua) macam, yaitu :
- Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian
- Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang
pemberian, maka yang harus didaftarkan.[8]
C. Penarikan hibah
Penarikan kembali barang
yang telah dihibahkan menurut jumhur ulama merupakan perbuatan yang dilarang
(hukumnya haram) walaupun diantara suami istri atau saudara.[9] Akan
tetapi tidak demikian dengan orang tua terhadap anaknya, seorang tua dapat
menarik kembali hibah yang telah dia berikan dari anaknya.
عن ابن عباس
وابن عمر، ان النبى صلى الله عليه وسلم قال (لايحل لرجل ان يعطي عطية او يهب هبة،
فيرجع فيها، الا الوالد فيما يعطي ولده، ومثل الذي يعطوا العطية ثم يرجع فيها كمثل
الكلب ياكل فاذ شبع قاء ثم عاد فى قيئه). رواه ابوداود والنسائى وابن ماجه
والترمذي
Artinya:
Dari Ibnu Abbas dan Ibn Umar, Nabi saw bersabda tidak
boleh (tidak halal) bagi seorang yang telah memberi atau menghibahkan hartanya kemudian
mengambilnya kembali, kecuali ayah yang memberikan kepada anaknya, sebab perumpamaan
orang yang mengambil kembali pemberiaannya seperti anjing yang makan dan ketika
kenyang muntah kemudian dia memakan muntahnya kembali.
Hadis
diatas tampak jelas bahwa penarikan kembali harta yang telah diberikan adalah
perbuatan sangat tidak terpuji bahkan Rasulullah saw mengumpamakan mereka (yang
menarik kembali pemberiannya) seperti anjing yang memakan muntahnya. Hadis ini tidak hanya ditujukan pada hibah
saja, bahkan termasuk didalamnya segala bentuk pemberian tanpa terkecuali
seperti hadiah, tidak dapat diambil kembali. Hal ini diperuntukkan menghindari sakit hati
atau perasaan tidak enak dari penerima hibah. Inilah kemudian yang diadopsi KHI
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 212 yang berbunyi, Hibah tidak dapat
ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
D. Hubungan hibah dengan waris
Hubungan hibah dengan
waris tergambar dalam KHI pasal 211 yaitu, Hibah dari orang tua kepada
anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian “dapat “ dalam
pasal tersebut bukan berartai imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu
alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan.[10] Pemberian
hibah orang tua kepada anaknya berpegang kepada prinsif pembagian yang sama
antara semua anak tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya, sebagaimana
yang diajarkan Rasullullah saw kepada sahabatnya dahulu.
Hibah sebagai salah satu
jalan keluar pembagian harta peninggalan untuk menghindari dari konflik yang
terjadi dikebanyakan pembagian warisan disebabkan oleh ada kalangan yang
terhalangi menerima harta warisan disebabkan beda agama, anak angkat, atau
disebabkan perbedaan bagian dari masing-masing ahli waris yang dipandang oleh
sebagian masyarakat itu melambangkan ketidak adilan.[11]
Walaupun hal ini dipandang sebagai sikap mendua kaum muslimin menghadapi
warisan.[12]
Oleh karena pemberian
hibah kepada anak dapat dihitung sebagai hibah maka perbedaan pendapat jika
ayah membedakan pemberian hibah kepada anaknya diapandang berbeda hukumnya oleh
ulama fiqh apakah itu boleh atau tidak. Namun, menurut penulisan dari beberapa
hadis yang menjelaskan pemberian kepada anak haruslah sama tanpa membedakan
antara anak yang satu dengan yang lainnya.
عن
النعمان بن بشر قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم: اعدلوا بين ابنائكم، اعدلوا
بين ابنائكم، اعدلوا بين ابنائكم.
Artinya:
Nabi Saw
bersabda, “ bersikaplah adil terhadap anak-anakmu, bersikapalah adil terhadap
anak-anakmu, bersikaplah adil terhadap anak-anakmu.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan
An-Nasai).
Kadangkala pemberian hibah
yang diberikan kepada ahli waris dengan perjanjian dia tidak akan meminta
bagiannya dari harta warisan atau yang dinamakan dengan istilah takharruj.
Yang dimaksud dengan takharruj dijelaskan oleh Fatchur Rahman
mendefenisikan:
Takharrju adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh
para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris
dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi
tersebut berasal dari harta milik orang yang ada pada mengundurkannya, maupun
berasal dari harta peninggalan yang bakal dibagi-bagikan.[13]
.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim dan Terjemahnya
Sudarsono,
Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007) cet 5, h. 426
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003
Hendarsanto, Prastowo, Studi
Perbandingan Tentang Hubungan Hibah Dengan Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dan Kitab Undang–undang Hukum Perdata. Semarang, Universitas
DiponegoroTesis
Sabiq, Sayyid,
Fiqh Sunnah, Mesir: al-Fath al-‘Ilâm al-‘Arabî, 2004
Ibin, Dede, Hibah, Fungsi Dan
Korelasinya Dengan Kewarisan, (tulisan ini diambil dalam bentuk pdf.
Penulis adalah Wakil Ketua PA Rangkasbitung)
Ali, Muhammad Daud, et.all., Kompilasi
Hukum Islam Dalam Sitem Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1999
[1] Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2007) cet 5, h. 426
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), cet 6, h. 466
[3] Sayyid
Sabiq, Fiqh as-Sunnah h. 1077
[4] Ibid.
[5] Ahmad
Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet 6, h. 471
[6] ibid
[7] Lihat Fatwa Majlis tarjih
Muhammadiah 21-1998
[8] Prastowo
Hendarsanto, studi perbandingan tentang hubungan hibah dengan Waris menurut
kompilasi hukum islam dan kitab Undang – undang hukum perdata. (Semarang,
Universitas DiponegoroTesis), h. 26
[9] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Mesir:
al-Fath al-‘Ilâm al-‘Arabî, 2004), h. 1071
[10] Dede Ibin, Hibah, Fungsi Dan
Korelasinya Dengan Kewarisan, (tulisan ini diambil dalam bentuk pdf.
Penulis adalah Wakil Ketua PA Rangkasbitung), h. 6
[11] Dede Ibin, Hibah, Fungsi Dan
Korelasinya Dengan Kewarisan, (tulisan ini diambil dalam bentuk pdf.
Penulis adalah Wakil Ketua PA Rangkasbitung), h. 2-5
[12] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet 3, h. 473
[13] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h.
474
1 komentar:
kasi tau lagi donk artikel-artikel yang lain.
Posting Komentar