Oleh, Abdul Karim Munthe
A.
Pendahuluan
Maroko adalah sebuah negara kerajaan yang terletak di bagian barat laut Afrika.
Penduduk asli Maroko adalah Berber, yaitu mastarakat kulit putih dari afrika
utara. Mereka konon masih mempunyai garis keturunan dengan Rasulullah saw dan
merupakan penganut agama Islam bermadzhab Maliki. Bahasa yang di miliki dan
yang menjadi bahasa kebudayaan mereka yaitu bahasa Arab.
Berdasarkan data sensus jumlah penduduk yang
ada pada pertengahan tahun 1991 berjumlah sekitar 27 juta jiwa dan lebih dari
99% adalah Muslim Sunni.
Penganut agama yahudi hanya kira-kira kurang dari 8000
orang yang sebagian bertempat di Casablanca dan di kota-kota pesisir.[1]
Namun data terakhir mengatakan bahwa populasi sebanyak 31.993.000 jiwa.[2]
Demikian pendahuluan yang dapat kami uraikan
untuk lebih jelas lagi kami akan menguraikan hukum yang berkaitan dengan
hukum keluarga yang terdapat di negara Maroko.
B.
Pembahasan
1.
Batas Usia minimum dalam Perkawinan
Batas minimal usia boleh kawin di Maroko bagi
laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi wanita 15 tahun. Namun demikian
disyaratkan ijin wali jika perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur
21 tahun sebagai batas umur kedewasaan. Pembatasan umur demikian tidak
ditemukan aturannya baik dalam al-qur’an, al-hadits maupun kitab-kitab fiqh.
Hanya saja para ulama madzhab sepakat bahwa baligh merupakan salah satu syarat
dibolehkannya perkawinan, kecuali dilakukan oleh wali mempelai.
Namun setelah adanya UU tahun 2004 ini
membatasi perkawin diperbolehkan hanya apabila mencapai umur 18 tahun bagi
laki-laki dan perempuan tanpa ada perbedaan.[3]
Sebagaimana yang terdapat dalam pasal 19.
Imam Malik menetapkan usia 17 tahun baik bagi
laki-laki maupun wanita untuk mengkategorikan baligh, sementara Syafi’i dan Hambali menentukan umur 15 tahun, dan
hanya Hanafi ysng membedakan batas umur baligh bagi keduanya, yakni laki-laki
18 tahun, sedangkan bagi wanita 17 tahun. Batasan ini merupakan batas maksimal,
sedangkan batas minimal adalah laki-laki 15 tahun, dan perempuan 9 tahun,
dengan alasan bagi laki-laki yang sudah mengeluarkan sperma dan wanita yang
sudah haid sehingga bisa hamil. Dalam hal ini nampaknya Maroko mengikuti
ketentuan umur yang ditetapkan oleh Syafi’i dan Hambali. Batas umur 15 tahun
bagi wanita merupakan batas umur kawin terendah. [4]
2.
Poligami
Negara Maroko berbeda dengan Negara Tunisia
yang melarang secara mutlak aturan mengenai poligami, pada prinsipnya bermaksud
membatasi terjadinya poligami dengan harapan dapat diterapkan prinsip keadilan
bagi para istri. Dalam undang-undang keluarga tahun 1958 menegaskan bahwa jika
dikhawatirkan ketidakadilan akan terjadi diantara istri-istri, maka poligami
tidak diperbolehkan. Namun, tidak ada pasal dalam undang-undang itu yang
memberikan otoritas untuk menyelidiki kapasitas atau kemampuan suami untuk
berlaku adil dalam poligami. Selain itu undang-undang Maroko juga mengatur
masalah poligami antara lain sebagai berikut :[5]
Pertama, jika seorang laki-laki ingin berpoligami, ia
harus menginformasikan kepada calon istri bahwa ia sudah berstatus seorang
suami.
Kedua, seorang wanita, pada saat melakukan akad nikah
perkawinan, boleh mencantumkan taqlid talaq yang melarang calon suami
berpoligami. Jika di langgar maka istri berhak mengajukan gugatan perceraian ke
pengadilan.
Ketiga, walaupun tidak ada pernyataan seorang wanita,
seperti di atas, jika perkawinan keduanya menyebabkan istri pertama terluka
maka pengadilan bisa membubarkan perkawinan mereka.
Disamping itu Maroko lebih jauh menetapkan
bahwa istri berhak minta cerai dengan alasan suami tidak berlaku adil terhadap
istri-istrinya. Alasan dari pandangan ini adalah bahwa prinsip umum quran tidak
membolehkan poligami kalau suami tidak dapat berlaku adil terhadap para istrinya.
[6]
Sebagai tambahan, poligami (yang merupakan hak
mutlak suami di bawah undang-undang terdahulu) menjadi subyek persetujuan hakim
dan, yang paling penting, hanya diperbolehkan dalam kondisi-kondisi hukum yang
ketat sehingga membuat pelaksanaannya hampir tidak mungkin.[7]
3.
Peran Wali Dan Kebebasan Mempelai Wanita
Maroko Mengharuskan adanya wali dan persetujuan
dari para calon mempelai untuk satu perkawinan, dan secara prinsip melarang
nikah paksa, namun masih mengakui adanya hak Ijbar, dengan alasan kalau ada
kekhawatiran bahwa dengan perkawinan tersebut si anak akan sengsara.[8]
Wali nikah dalam hukum keluarga Maroko dibahas
pada beberapa pasal. Pasal 13 menyebutkan bahwa dalam perkawinan harus
terpenuhi kebolehannya seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menikah,
tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, adanya wali ketika ditetapkan,
adanya saksi yang adil serta tidak adanya halangan untuk menikah. Pembahasan
wali juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan adanya surat kuasa bagi
pernikahan yang mempergunakan wali sedangkan Pasal 18, seorang wali tidak dapat
menikah terhadap seorang perempuan yang menjadi walinya.
Penjelasan kedudukan wali dalam pernikahan
disebutkan pada Pasal 24. Perwalian dalam pernikahan menjadi hak perempuan
(bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang perempuan yang sudah mengerti dapat
menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau ia menyerahkan kepada walinya (Pasal
25). Ketentuan ini telah menghapus kedudukan wali dalam pernikahan, karena akad
nikah berada pada kekuasaan mempelai perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah
walinya, secara hukum harus ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut
kepada orang tuanya (walinya).
Ketentuan ini juga menghapuskan kedudukan wali
adlol, karena pada dasarnya wali adlol muncul karena adanya hak wali bagi orang
tua terhadap anak perempuannya.
Apabila dibandingkan dengan hukum Jordania yang
sama memakai mazhab Hanafi dalam masalah wali, tampaknya Maroko cenderung lebih
jauh memberikan pemahaman terhadap kewenangan perempuan dalam pernikahan.
Maroko mengangap bahwa perwalian bukanlah hak dari orang tuanya, tetapi hak
anak perempuan itu sendiri.
4.
Pencatatan Perkawinan
Dalam melaksanakan perkawinan, Maroko juga
mengharuskan pencatatan perkawinan.
Disamping mengharuskan pencatatan, Maroko juga mensyaratkan tanda tangan
dua notaries untuk absahnya pencatatan perkawinan. Selain itu catatan asli
harus dikirimkan ke Pengadilan dan salinan (kopinya) harus dikirim ke kantor
Direktorat Pencatatan Sipil. Demikian juga istri diberi catatan asli, dan
kepada suami diberikan salinannya, selama maksimal 15 hari dari akad nikah.
Tetapi tidak ada penjelasan tentang perkawinan yang tidak sejalan dengan
ketentuan ini. [9]
5.
Proses Perceraian
UU Maroko menetapkan, istri berhak membuat
taklik talak, bahwa suami tidak akan melakukan poligami. Sementara apabila
dilanggar dapat menjadi alasan perceraian. Perceraian harus didaftarkan oleh petugas dan
disaksikan minimal 2 orang saksi. Dari teks yang ada dapat dipahami bahwa
perceraian diluar Pengadilan tetap sah. [10]
Menurut undang-undang Maroko, seorang istri
dapat mengajukan gugat cerai ke pengadilan jika: 1. Suami gagal menyediakan
biaya hidup; 2. Suami mampunyai penyakit kronis yang menyebabkan istrinya
merana; 3. Suami brlaku kasar (menyiksa) istri sehingga tidak memungkinkan lagi
untuk melanjutkan kehidupan perkawinan; 4. Suami gagal memperbaiki hubungan
perkawinan setelah waktu empat bulan ketika suami bersumpah untuk tidak
mencampuri istrinya; 5. Suami meninggalkan istri sedikitnya selama satu tahun
tanpa memperdulikan istrinya. [11]
Di Maroko, aturan tentang Khulu’ diambil dari
madzhab Maliki dengan tekanan pada kebebasan istri pada transaksi tersebut.
Imam Malik mengatakan jika istri selama perkawinan tidak merasakan kebahagiaan,
bahkan merasa didzalimi, maka istri boleh mnuntut cerai dengan mengembalikan
sejumlah mahar yang telah diberikan suami kepadanya. Pada undang-undang Maroko
diisyaratkan umur istri mencapai 21 tahun untuk dapat melakukan kesepakatan
Khulu’, hal mana yang tidak pernah ditetapkan madzhab Maliki dan juga
madzhab-madzhab yang lain. Selain itu, pelaksanaan Khulu’ tidak boleh
mengorbankan hak-hak anak.
6.
Hukum Kewarisan
Prinsip wasiat wajibah yang diadopsi oleh
Tunisia dari hukum wasiat Mesir (1946) juga diberlakukan di Maroko dengan
beberapa perubahan. Maroko merupakan negara keempat dan terakhir setelah Mesir,
Syiria dan Tunisia yang mengadopsi aturan ini. Menurut undang-undang Maroko
(1958) hak untuk mendapatkan wasiat wajibah tersedia bagi anak dan seterusnya
kebawah dari anak laki-laki pewaris yang telah meninggal. Aturan ini tidak
ditemukan dalam madzhab manapun dalam fiqih tradisional, sebab warisan hanya
diperuntukkan bagi ahli waris yang masih hidup. [12]
7.
Revisi Undang-Undang Keluarga Maroko 1958
Pada tahun 2004, Maroko mencatat sejarah dengan
disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) yang mengakomodir kesetaraan
laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga
yang telah berlaku selama setengah abad. Beberapa perubahan yang berhasil
digolkan adalah
(1) Keluarga adalah tanggungjawab
bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan sebelumnya bahwa
laki-laki adalah penanggung jawab tunggal keluarga, (2) perempuan tidak membutuhkan
ijin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi UU untuk
menentukan sendiri calon suaminya, (3) batas usia minimum pernikahan bagi
laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun merivisi aturan sebelum di
mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun, (4) poligami mempunyai
syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan poligami.[13]
C.
Penutup
Dari penjelasan yang telah diuraikan diatas
dapat disimpulkan bahwa negara Maroko adalah negara yang telah menggabungkan
pendapat dari beberapa madzhab dalam mencapai keterangan yang ada dalam hukum
Islam yang ada di negara Maroko dari beberapa masalah yang direformasi dalam
undang-undang Keluarga (2004) di Maroko,sebagaimana yang telah ada di
negara-negara Islam lainnya. Mungkin hanya ini yang dapat kami presentasikan
tentang Hukum Islam di negara Maroko. Mudah-mudahan apa yang telah dilampirkan
diatas dapat bermanfaat bagi kita khususnya.
Daftar
Pustaka
Hakima
Fassi-Fihri dan Zakia Tahiri, Perspektif: 5 tahun undang-undang keluarga
Maroko, http://www.commongroundnews.org/article.php?id=25418&lan=ba&sp=0 Diakses pada hari Sabtu, 10-08-2011
jam 12:18 WIB.
Muzdhar,
M. Atho’ dan Nasution, Khairuddin, Hukum
Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern
Dan Kitab-Kitab Fikih. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Nasution,
Khoiruddin, Status Wanita Di Asia
Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di
Indonesia Dan Malaysia. Leiden-Jakarta: INIS, 2002.
Rofiah,
Nur, Perjuangan Hukum Keluarga yang Setara di Maroko, http://alimatindonesia.blogspot.com/2010/04/perjuangan-hukum-keluarga-yang-setara.html akses, Kamis, 11-10-11 jam 16:03
WIB.
Jan
Michel Otto (ed), Syaria Incorporated: A Comparative Overviw of The Legal
Systems Of Twelve Muslim Countries in Past and Present. Amsterdam: Leiden
University Press, 2010.
Mahmood,
Tahir, Personal Law In Islamic Countries (History, text and Comparative
Analysis., New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987.
Mahmood,
Tahir, Family Law Reform In The Muslim Wordl. New Delhi: The Indian Law
Institute, tt.
http://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-islam-di-negara-maroko/
dikutip pada hari minggu, 13-11-2011, jam 20.00 WIB.
http://alimatindonesia.blogspot.com/2010/04/perjuangan-hukum
-keluarga-yang-setara.html dikutip pada hari minggu 13-11-2011 jam 21.00 WIB.
[1] M.
Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum
Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern
Dan Kitab-Kitab Fikih, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 97.
[2]
Nur Rofiah, Perjuangan Hukum Keluarga yang Setara di Maroko, http://alimatindonesia.blogspot.com/2010/04/perjuangan-hukum-keluarga-yang-setara.html
diakses pada hari Kamis, 11-10-11 jam 16:03 WIB.
[3] Jan Michel Otto (ed), Syaria
Incorporated: A Comparative Overviw of The Legal Systems Of Twelve Muslim
Countries in Past and Present, (Amsterdam: Leiden University Press, 2010),
h. 115.
[4] M.
Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Op.Cit,
h. 109.
[5] Ibid, h. 110-111.
[6]
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di
Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer
Di Indonesia Dan Malaysia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002), h. 122-123.
[7]
Hakima Fassi-Fihri dan Zakia Tahiri, Perspektif: 5 tahun undang-undang keluarga
Maroko, http://www.commongroundnews.org/article.php?id=25418&lan=ba&sp=0
Diakses pada hari Sabtu, 10-08-2011 jam 12:18 WIB.
[8] Khoiruddin
Nasution, Op Cit, h. 194.
[9]
Khoiruddin Nasution, Op.Cit, h. 156.
[10] Ibid, h. 251-252.
[11]
M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Op.Cit,
h. 113.
[12] http://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-islam-di-negara-maroko/ diakses pada hari minggu, 13-11-2011, jam
20.00 WIB.
[13] http://alimatindonesia.blogspot.com/2010/04/perjuangan-hukum
-keluarga-yang-setara.html diakses pada hari minggu 13-11-2011 jam
21.00 WIB.