Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian EKonomi Syariah


Oleh, Dr. Hasbi Hasan, MA

A.  Pendahuluan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) merupakan produk legislasi yang pertama kali memberikan kompetensi kepada peradilan agama dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah. Kemudian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS) diberlakukan untuk memperteguh kompetensi peradilan agama dalam menangani perkara ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah. Berdasarkan UUPA dan UUPS  tersebut, semestinya peradilan agama sudah secara praktis memiliki kompetensi dalam menangani perkara ekonomi syariah. Sungguhpun demikian, dalam kenyataannya justifikasi kompetensi peradilan agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah ini masih diperdebatkan.
Terkait dengan itu, Sutan Remy Sjahdeini, salah seorang pakar hukum di Indonesia, menyatakan bahwa hukum Islam bukan merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Karena itu, peradilan agama (PA) tidak dapat dipaksakan untuk menyelesaikan perkara yang timbul antara bank syariah dan nasabahnya, melainkan diberlakukan hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Hanawijaya, Direktur Perbankan Syariah Mandiri, berpendapat bahwa peradilan agama tidak berwenang sebagai lembaga eksekutorial terhadap putusan Basyarnas. Sebab, berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS), yang berwenang menjadi lembaga eksekutorial adalah peradilan umum (PU).
Di lain pihak, Taufiq, mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung, mengemukakan pandangan yang berbeda. Menurutnya, UU No. 30 Tahun 1999 sekarang sudah tidak bisa diberlakukan, karena  “UU No. 30 Tahun 1999 adalah lex generalis, sedangkan UU No. 3 Tahun 2006 itu lex specialis.” Dalam konteks ini, Abdurrahman, Hakim Agung MA, sependapat dengan Taufiq. Namun menurutnya, perlu disadari bahwa UUPA masih mempunyai kelemahan mendasar, karena dalam UUPA sama sekali tidak mencantumkan ketentuan pasal peralihan. Selain itu, UUAAPS perlu direvisi agar tidak menghambat kompetensi peradilan agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
Sementara itu, Andi Syamsu Alam, Ketua Muda Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung, berpendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu membuat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) soal kompetensi peradilan agama dalam mengeksekusi putusan Basyarnas. Menurutnya, “Paling tidak ada dua hal yang nanti direkomendasikan kepada MA: Pertama, membuat Perma soal kompetensi peradilan agama dalam mengeksekusi putusan Basyarnas; Kedua, perkara ekonomi syariah nanti diselesaikan tidak lebih dari 180 hari.”
Dalam konteks ini, Adiwarman A. Karim, Presiden Direktur Karim Bussiness Consulting, melontarkan pandangan yang berbeda. Menurutnya, dalam hukum berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Asas ini memberikan kebebasana bagi para pihak untuk menentukan syarat dan ketentuan yang akan mengikat mereka. Dalam hukum yang berlaku di Indonesia, para pihak yang berperkara bebas memilih peradilan mana (choice of forum) yang akan digunakan ketika terjadi perselisihan atau persengketaan. Dalam kaitannya dengan penyelesaian perkara ekonomi syariah, forum yang selama ini digunakan adalah peradilan umum dan badan arbitrase. Artinya, UU No. 3 Tahun 2006 pada dasarnya hanya menambah pilihan forum bagi pelaku perbankan syariah, yakni peradilan agama.
Kontroversi mengenai kompetensi peradilan agama kembali mencuat menjelang lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah hingga UU tersebut diberlakukan. Dalam Pasal 55 UUPS, kompetensi peradilan agama dalam menangani perkara ekonomi syariah terbatas selain yang ada perjanjian penyelesaian sengketa sesuai dengan isi akad. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 55 ayat (2), “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.” Dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS disebutkan, “Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”
Dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UUPS tersebut, ternyata peradilan umum tetap diberi kompetensi dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah. Alhasil, beberapa kalangan berpendapat bahwa dengan ditunjuknya peradilan umum sebagai lembaga peradilan yang akan menangani persoalan sengketa perbankan syariah, berarti pemerintah tidak konsisten terhadap sesuatu yang telah menjadi keputusannya. Mengingat penambahan kompetensi pengadilan agama dalam bidang ekonomi syariah sesungguhnya merupakan usulan pemerintah juga, sebagaimana terdapat dalam Pasal 49 UUPA yang usianya baru dua tahun namun telah dilaksanakan oleh lingkungan peradilan agama. Dengan demikian telah terjadi choice of court (litigation) yang berimplikasi kepada ketidakpastian hukum.
Berdasarkan uraian di atas, maka perbincangan mengenai  masalah tersebut masih dipandang sangat penting dan aktual. Persoalan tersebut tidak hanya kontroversial tetapi juga sangat menarik untuk dikaji bagi perkembangan ilmu hukum. Dalam konteks ini, maka dalam seminar ini penulis mengetengahkan  judul: Kompetensi Peradilan Agama Dalam Perkara Ekonomi Syariah.
B.       Ekonomi Syariah dalam Hukum Nasional
Secara yuridis formal, pengakuan terhadap prinsip ekonomi syariah telah diakomodir dalam pelbagai peraturan perundang-undangan nasional. Mulai dari diundangkannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, kemudian diperkuat melalui UU No. 23 Tahun 1999 tentang BI, hingga diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kiranya sudah sangat jelas menunjukkan bahwa otoritas hukum Islam dalam operasional konsep dan sistem ekonomi syariah, terutama di dalam sistem perbankan di Indonesia, telah memiliki legitimasi dan kepastian hukum secara yuridis formal.
Perspektif yuridis ini mengandung makna bahwa pelembagaan prinsip syariah merupakan satu bentuk konkretisasi proses transformasi sub-sistem hukum Islam menjadi bagian utuh sistem hukum positif nasional dan menjadi seperangkat aturan yang secara eksklusif mengatur sistem operasional kegiatan usaha perbankan, yang pada gilirannya akan makin memperkuat otoritas hukum Islam dalam operasional konsep dan sistem ekonomi syariah. Dalam pengertian ini, eksistensi dan otoritas hukum Islam telah mendapat delegasi secara yuridis formal pemberlakuannya dalam tertib hukum kegiatan usaha bisnis perbankan, dan bahkan dalam kegiatan usaha ekonomi.
Dalam konteks totalitas sistem hukum perbankan, prinsip syariah sebagai “aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam” merupakan satu spesifikasi aturan ahkâm al-mu‘âmalah Islam, terutama seperangkat aturan ahkâm al-iqtisâdiyyah wa al-mâliyah yang telah diaktifkan secara legal formal dan ditransformasikan menjadi sub-sistem hukum positif. Aplikasi prinsip syariah sebagai bentuk pengembangan dari prinsip bagi hasil berdasarkan syariah, atau prinsip muamalah berdasarkan syariah di dalam operasional kegiatan usaha perbankan, pada pokoknya merupakan suatu pelandasan pola hubungan bank dengan nasabah dalam sistem operasional kegiatan usaha perbankan.
Secara konstitusional, dasar hukum ekonomi syariah berpijak pada Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi, bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan hukum formal yang mengatur pelaksanaan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia adalah segala ketentuan yang telah melalui proses positivisasi oleh negara. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebagai konsekuensi logis dari koherensi al-Qur’an dan Sunah sebagai satu bentuk konsistensi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, maka: (1) sistem ekonomi syariah sebagai bagian utuh dalam totalitas sistem hukum ekonomi Indonesia kontemporer, sumber hukum dasarnya secara legal formal mencakup Pancasila, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai sumber hukum dasar, dan UUD 1945, merupakan sumber hukum dasar tertulis; (2) sistem ekonomi sebagai satu sub-sistem hukum muamalah Islam yang didasarkan pada ketentuan normatif al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber hukum fundamental yang utama dan pertama, pada hakikatnya merupakan konsistensi dan perwujudan nyata dari hakikat Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian, sumber hukum dasar tertulis sebagai sandaran ekonomi syariah paling utama dan pertama dalam sistem hukum Indonesia kontemporer adalah ketentuan Pasal 29 UUD 1945. Adapun sandaran sumber hukum tertulis paling utama dan pertama dalam konteks sistem hukum ekonomi saat ini, tentu saja ketentuan UU No. 10 Tahun 1998, dengan segala produk peraturan pelaksanaannya berupa PP, PBI atau KBI dan lain sebagainya. Sandaran sumber hukum tertulis berupa PBI atau KBI ini, selain didasarkan pada ketentuan langsung UU No. 10 Tahun 1998, juga telah diperkuat oleh ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000. Sedangkan sumber hukum tertulis dalam bentuk produk PP yang berlaku sebelum diundangkannya UU No. 10 Tahun 1998, dan secara langsung menjadi sandaran sistem operasional kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah, antara lain berupa PP No. 72 Tahun 1992. Selain itu, tentu saja segala produk peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai sumber hukum tertulis, baik yang secara langsung ataupun tidak langsung terkait dengan operasional kegiatan usaha ekonomi, juga dapat menjadi sumber hukum tertulis bagi sistem operasional ekonomi syariah, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hukum syariah Islam. Dalam hal ini, fatwa DSN dapat dikategorikan sebagai sumber yang bersifat hukum dan menjadi sumber hukum tertulis.
Terkait dengan regulasi, dalam aplikasi sistem perbankan Indonesia, untuk sandaran legitimasi dan kepastian hukum secara yuridis formal, tidak kurang dari sepuluh pasal di dalam UU No. 10 Tahun 1998 telah menentukan bahwa regulasi kebijakan perbankan sepenuhnya dikuasakan pada otoritas BI. Sebaliknya, regulasi yang dikuasakan dalam bentuk PP hanya terdapat lima pasal saja. Bahkan, produk regulasi pada tingkat yuridis teknis selain berupa PP dan produk putusan BI, juga dalam bentuk fatwa DSN. Di dalam UU No. 23 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, produk hukum operasional berupa PBI ini tidak kurang dari 12 kali disebutkan dan tersebar pada 11 pasal. Atas kuasa UU langsung, produk putusan BI dapat berupa Surat Keputusan Direksi (SKD) dan PBI, dan dapat pula dalam bentuk lainnya.
Terkait dengan pengawasan, kegiatan muamalah di bidang ekonomi syariah (komersial dan nonkomersial) dikendalikan oleh lembaga swasta (bukan lembaga negara), yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam konteks ini, MUI memiliki tiga institusi terkait, yakni Dewan Syariah Nasional (DSN), Dewan Pengawas Syariah (DPS), dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Pedoman kegiatan ekonomi syariah didasarkan pada fatwa DSN, praktek ekonomi LKS diawasi oleh DPS, dan sengketa ekonomi syariah diselesaikan di Basyarnas. Dengan demikian, peran MUI dalam pengembangan ekonomi syariah direpresentasikan melalui tiga lembaga terkait, DSN, DPS, dan Basyarnas, yang masing-masing mempunyai tugas dan peran tersendiri dan saling melengkapi.
C.       Kompetensi Peradilan Agama dalam Perspektif Historis
Kompetensi peradilan agama telah mengalami dinamika yang cukup pelik serta mengarah pada pasang surut. Kendati tidak sampai dihapuskan, namun lingkup kompetensi peradilan agama kerap dibatasi pada perkara keperdataan tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik (political will) para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh penguasa bersangkutan. Tak dapat dipungkiri bahwa faktor dinamika politik hukum dan kehendak politik (political will) penguasa dari masa ke masa telah menggoreskan catatan penting dalam dinamika peradilan agama di Nusantara, yang dalam kenyataannya tidak selalu berada dalam perjalanan yang relatif mulus.
Sungguhpun begitu, pada akhirnya kebijakan regulasi dan politik hukum negara dapat menempatkan posisi peradilan agama dalam sistem peradilan nasional secara lebih proporsional. Fakta fluktuasi dan instabilitas pencitraan peradilan agama dalam dinamika politik hukum dan kehendak politik kadangkala menunjukkan apresiasi negatif dan kadangkala juga positif. Konfigurasi dialektika peradilan agama antara peluang dan tantangan yang niscaya saling bersitegang itu, utamanya muncul dalam bentuk pro dan kontra atas pelbagai kebijakan regulasi. Satu di antaranya terkait dengan status, kedudukan dan kewenangannya dalam sistem peradilan nasional.
Kompetensi peradilan agama pada dasarnya sangat terpaut erat dengan pelaksanaan hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat (living law). Sekalipun demikian, sejak munculnya teori receptie produk Christian Snouck Hurgronje, kompetensi peradilan agama pernah dibatasi, tidak lagi menangani masalah waris karena dianggap belum menjadi hukum adat. Berdasarkan pengaruh teori ini, kompetensi peradilan agama hanya diperkenankan untuk menangani masalah perceraian, nafkah, talaq, dan rujuk.
Kompetensi peradilan agama di Indonesia, sesungguhnya sangat terkait erat dengan persoalan kehidupan umat Islam, karena ia menjadi sui generis-nya. Namun, karena Indonesia bukan negara Islam, maka kompetensi peradilan agama tidak menyangkut seluruh persoalan umat Islam, melainkan hanya terkait dengan persoalan hukum keluarga (ahwâl al-syakhsiyyah) ditambah beberapa persoalan muamalah. Kenyataan tersebut tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik penguasa dari masa ke masa. Karena latar belakangn historis itu, peradilan agama kerap memiliki konotasi sebagai peradilan nikah, talak, dan rujuk saja.
Perubahan kompetensi mulai nampak dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang meliputi perceraian, penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan asal usul anak, dan izin menikah. Tidak sebatas itu, kompetensi peradilan agama juga bertambah ketika keluar PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, terutama dalam ketentuan Pasal 12. Bahkan, pada tahun 1989, kompetensi peradilan agama kembali mendapatkan perluasan, tidak lagi sebatas masalah perkawinan, namun juga masalah kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Ketentuan tersebut dinyatakan dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemunculan undang-undang ini tidak saja memberikan keluasaan kompetensi, akan tetapi juga telah memberikan kemandirian kepada peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Karena, peradilan agama telah mempunyai hukum acara sendiri, dapat melaksanakan keputusannya sendiri, mempunyai jurusita sendiri, serta mempunyai struktur dan perangkat yang kuat berdasarkan undang-undang.
Akhirnya, setelah berjalan selama 15 tahun, UU tentang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 ini telah membawa perubahan besar bagi kompetensi peradilan agama. Dalam UU No. 3 Tahun 2006 tersebut, kompetensi peradilan agama diperluas dengan memasukan, antara lain ekonomi syariah, sebagai salah satu bidang kompetensinya. Artinya, UU No. 3 Tahun 2006 ini menegaskan secara eksplisit bahwa masalah ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut peradilan agama. Dalam skala yang lebih luas, perluasan kompetensi peradilan agama sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut merupakan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Muslim.
Dalam perspektif sosiologi hukum, tidak mengherankan jika peradilan agama mengalami ekstensifikasi kewenangan, mengingat perlunya kesinambungan yang simetris antara perkembangan masyarakat dengan pengaturan hukum, agar tidak ada jarak antara persoalan (problem) dengan cara dan tempat penyelesaiannya (solving). Dengan kata lain, perkembangan masyarakat yang meniscayakan munculnya permasalahan bisa diselesaikan melalui jalur hukum (legal), tidak main hakim sendiri (ilegal). Di samping itu, perluasan kompetensi juga senafas dengan teori three elements law system” Friedman, terutama tentang legal substance. Friedman menyatakan bahwa legal substance merupakan aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sebuah sistem. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan, mencakup keputusan yang dikeluarkan, aturan baru yang disusun. Substansi juga mencakup hukum yang  hidup (living law), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab UU atau law in books. Sepanjang hukum Islam hidup dan  dipraktekan oleh masyarakat, sepanjang itu pula seharusnya kompetensi yang diemban oleh peradilan agama. Sebab, eksistensi peradilan agama sebagai sebuah legal structure, harus berbanding lurus dengan kewenangannya sebagai legal substance. Sehingga, jika legal structure-nya kuat tetapi legal substance-nya tidak kuat, maka ibarat sebuah bangunan hampa yang tidak ada isinya.
D.      Kompetensi Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Syariah dalam Perspektif Yuridis
Pasal 50 UU No. 3 Tahun 2006 menegaskan bahwa ketika perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah menimbulkan sengketa, maka muara penyelesaian perkara secara litigasi menjadi kompetensi peradilan agama. Sedangkan penyelesaian melalui jalur non litigasi dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase, dalam hal ini Basyarnas, dan alternatif penyelesaian sengketa dengan memperhatikan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah.
Namun kemudian muncul persoalan tatkala UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kompetensi kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum untuk menyelesaikan perkara perbankan syariah. Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 menyebutkan: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad; (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 ini menyebutkan, “Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut: a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.”
Ketentuan Pasal 55 ayat (2) beserta penjelasannya itu menunjukkan bahwa telah terjadi reduksi terhadap kompetensi peradilan agama dalam bidang perbankan syariah. Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006, peradilan agama memiliki kompetensi dalam menangani perkara ekonomi syariah, yang di dalamnya termasuk perbankan syariah. Ternyata, ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 itu direduksi oleh perangkat hukum lain – UU No. 21 Tahun 2008 – yang sebenarnya dimaksudkan untuk memudahkan penanganan perkara ekonomi syariah, khususnya bidang perbankan syariah.
Dengan demikian, politik hukum pemerintah (legislatif dan eksekutif) terhadap perbankan syariah terkesan masih ambivalen, sebagaimana tercermin dalam Pasal 55 ayat (2) dan penjelasan huruf d yang masih memberi opsi penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Adanya opsi kompetensi peradilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum dalam bidang perbankan syariah ini menunjukkan adanya reduksi dan penyempitan serta mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi – sekalipun kompetensi yang diberikan kepada peradilan umum adalah terkait dengan isi suatu akad, khususnya mengenai choice of forum dan choice of litigation.
Munculnya isi perjanjian di mana para pihak menyepakati jika terjadi suatu sengketa akan diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum merupakan kebebasan para pihak dalam menentukan isi suatu perjanjian, yang termasuk di dalamnya mengenai pilihan lembaga dalam menyelesaikan sengketa. Ada dua cara dalam menentukan pilihan di mana sengketa akan diselesaikan berdasarkan belum atau sudah terjadinya sengketa, yaitu melalui factum de compromittendo dan acta compromis. Factum de compromittendo merupakan kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian mengenai domisili hukum yang akan dipilih tatkala terjadi sengketa. Ketentuan ini biasa dicantumkan dalam kontrak atau akad yang merupakan klausula antisipatif. Sedangkan acta compromis adalah suatu perjanjian tersendiri yang dibuat setelah terjadinya sengketa. Namun demikian, pilihan tempat penyelesaian sengketa di sini lebih mengarah pada wilayah yurisdiksi pengadilan dalam satu lingkungan peradilan, bukan pilihan terhadap peradilan di lingkungan yang berbeda.
Dengan demikian, adanya choice of forum dalam penyelesaian perkara perbankan syariah berdasarkan Pasal 55 ayat (2) menunjukkan inkonsistensi pembentuk undang-undang dalam merumuskan aturan hukum. Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 secara jelas memberikan kompetensi kepada peradilan agama untuk mengadili perkara ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah sebagai suatu kompetensi absolut. Alasan bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan agama belum familiar menyelesaikan perkara perbankan bukan menjadi suatu alasan yang logis untuk mereduksi kewenangan mengadili dalam perkara perbankan syariah.
Di samping itu, keberadaan choice of forum akan sangat berpengaruh pada daya kompetensi peradilan agama. Pelaksanaan kompetensi dalam perbankan syariah akan sangat bergantung pada isi akad atau kontrak. Jika para pihak yang mengadakan akad atau kontrak menetapkan penyelesaian perkara pada pengadilan di lingkungan peradilan umum, maka kompetensi yang dimiliki peradilan agama hanya sebatas kompetensi secara tekstual sebagaimana diberikan oleh undang-undang, tetapi dalam praktek tidak secara optimal berfungsi karena harus berbagi dengan pengadilan negeri, khususnya jika dalam akad telah disebutkan akan diselesaikan di pengadilan negeri.
Jika dipahami berdasarkan kaidah normatif-yuridis, ketentuan Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 dapat ditafsirkan sebagai berikut. Mengenai ayat (1), telah menjadi prinsip hukum bahwa penyelesaian perkara perbankan syariah melalui proses litigasi menjadi kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Terkait dengan penafsiran ayat (2) dapat dijelaskan bahwa ayat (1), yakni litigasi, harus berhadapan dengan ayat (2), yakni non litigasi – musyawarah, mediasi perbankan, Basyarnas atau lembaga arbitrase lain, dan/atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Dalam struktur undang-undang ini, pengadilan dalam lingkungan peradilan umum diposisikan sebagai non litigasi. Karena peradilan umum merupakan lembaga litigasi, maka dalam undang-undang ini terdapat penempatan norma yang keliru.
Dengan demikian, dalam penjelasan Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) telah terjadi contradictio in terminis. Hal ini akan berakibat pada berlakunya kaidah hukum lex posteriori derogat lex priori, artinya peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama dengan mengenyampingkan peraturan tersebut. Maka dengan demikian, berdasarkan analisis atas kaidah tersebut, frasa “pengadilan dalam lingkungan peradilan umum” yang telah memposisikan/mendudukan peradilan umum pada posisi non-litigasi dapat dikesampingkan oleh hakim karena cara penyelesaian melalui peradilan umum adalah merupakan cara penyelesaian di luar litigasi. Penafsiran yuridis inilah yang kemudian mendorong Mahkamah Agung untuk melakukan langkah dengan mengambil jalan yuridis untuk memperlancar penyelenggaraan peradilan dengan menyerahkan perkara perbankan syariah pada kompetensi pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
E.       Kesimpulan
Kompetensi peradilan agama dalam perkara ekonomi syariah telah memunculkan berbagai kontroversi yang dipicu oleh perbedaan sudut pandang dan kepentingan dalam menafsirkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapat pihak-pihak yang mempersoalkan kompetensi peradilan agama dalam perkara ekonomi syariah lebih didasarkan pada kepentingan politis dan lemahnya pemahaman hukum dan kesadaran ketatanegaraan, sehingga penafsiran terhadap instrumen perundang-undangan yang berlaku tidak sesuai dengan kaidah normatif-yuridis yang seharusnya menjadi paradigma penafsiran dalam ranah hukum dan perundang-undangan.
Secara yuridis, ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 beserta penjelasannya menunjukkan bahwa telah terjadi reduksi terhadap kompetensi peradilan agama dalam bidang perbankan syariah. UU No. 3 Tahun 2006 telah memberikan kompetensi absolut dalam perkara ekonomi syariah kepada peradilan agama. Tetapi, ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 itu direduksi oleh UU No. 21 Tahun 2008 yang pada dasarnya dimaksudkan untuk memudahkan penanganan perkara ekonomi syariah, khususnya di bidang perbankan syariah.
Sebagaimana tercermin dalam Pasal 55 ayat (2) dan penjelasan huruf d, undang-undang ternyata memberikan opsi penyelesaian perkara perbankan syariah melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Adanya opsi kompetensi peradilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum dalam bidang perbankan syariah ini menunjukkan adanya reduksi dan penyempitan serta mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi – sekalipun kompetensi yang diberikan kepada peradilan umum adalah terkait dengan isi suatu akad, khususnya mengenai choice of forum dan choice of litigation.
Meskipun secara eksplisit penjelasan Pasal 55 ayat (2) membuka ruang opsi penyelesaian perkara sesuai isi akad melalui musyawarah, mediasi perbankan, Basyarnas dan peradilan umum, namun bila dicermati secara seksama, bunyi Pasal 55 ayat (1) UUPS telah memberikan kompetensi absolut kepada peradilan agama. Bahkan, penyelesaian perkara ekonomi syariah tersebut menurut Pasal 55 ayat (3) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Menurut perspektif hukum normatif, proses litigasi penyelesaian perkara ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut peradilan agama. Dalam hal ini, peradilan umum diposisikan sebagai lembaga non litigasi, sehingga secara hukum telah terjadi contraditio interminis. Karena peradilan umum merupakan lembaga litigasi, maka dalam undang-undang ini terdapat penempatan norma yang keliru. Dengan demikian, berdasarkan analisis atas kaidah tersebut, frasa “pengadilan dalam lingkungan peradilan umum” yang telah memposisikan/mendudukan peradilan umum pada posisi non litigasi dapat dikesampingkan oleh hakim karena cara penyelesaian melalui peradilan umum adalah merupakan cara penyelesaian di luar litigasi.
Demikian pula, instrumen perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan persinggungan dan sengketa kewenangan antara lembaga terkait dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah harus ditafsirkan berdasarkan pendekatan normatif-yuridis sesuai dengan kaidah ilmu hukum. Berdasarkan kaidah hukum, UU No. 3 Tahun 2006 mengesampingkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (lex specialis drogat lex generalis) - dalam kaidah ushul fiqh, teori lex specialis drogat lex generalis ini dapat diidentikkan dengan teori ‘âm-khâs. Pasca UU No. 3 Tahun 2006, kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah telah menjadi kompetensi peradilan agama. Dengan demikian, lembaga yang berwenang mengeksekusi putusan Basyarnas adalah peradilan agama. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 55 ayat (3) UU No. 21 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa penyelesaian perkara ekonomi syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Secara praktis, penegakkan prinsip ini hanya dapat dilakukan oleh peradilan agama yang memiliki hukum materiil berdasarkan hukum Islam. Jika asas ini tidak ditaati, maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam konteks ini, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan SEMA No. 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Dengan diterbitkannya SEMA No. 08 Tahun 2008 itu, persoalan mengenai lembaga peradilan mana yang berwenang melaksanakan eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah menjadi semakin jelas, yaitu Pengadilan Agama. Berdasarkan angka 3 dan 4 SEMA No. 08 Tahun 2008, putusan Badan Arbitrase Syariah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, karenanya para pihak harus melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah tersebut secara sukarela. Oleh karena sesuai Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, pengadilan agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, maka Ketua Pengadilan Agama-lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah.
Dengan demikian, tafsir yuridis mengimplikasikan bahwa penyelesaian perkara ekonomi syariah, termasuk di dalamnya perbankan syariah, melalui jalur litigasi terletak pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Dalam konteks inilah Mahkamah Agung RI, melalui PERMA No. 2 Tahun 2008 dan SEMA No. 8 Tahun 2008, memberikan ruang gerak seluas-luasnya kepada peradilan agama untuk menangani sekaligus mengeksekusi perkara ekonomi syariah sesuai dengan kompetensi yang diberikan kepadanya. SEMA No. 8 Tahun 2008 memuat ketentuan mengenai registrasi dan eksekusi putusan Basyarnas atau akibat tidak atau melawan putusan Basyarnas. Sedangkan PERMA No. 2 Tahun 2008 berisi mengenai pedoman dalam kelancaran penyelenggaraan peradilan berupa Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam rangka memperlancar penerapan dan penegakan hukum sesuai deangan ketentuan PBS. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa upaya menghindari proses litigasi di peradilan agama serta tidak mengakui kompetensi peradilan agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah sesungguhnya dipengaruhi oleh lemahnya pemahaman hukum dan kesadaran bertatanegara, khususnya mengenai kemadirian dan independensi lembaga peradilan.
Pandangan bahwa peradilan agama tidak memiliki instrumen dan perangkat hukum yang memadai, baik hukum materiil maupun hukum formil, dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah pada dasarnya berakar pada minimnya informasi mengenai dinamika peradilan agama kontemporer dan didasarkan pada paradigma lama sebelum diundangkan UU No. 3 Tahun 2006. Padahal, sebagai peradilan negara yang melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman, peradilan agama telah dilengkapi dengan sejumlah instrumen hukum, baik materiil maupun formil, untuk menyelesaikan seluruh perkara hukum yang termasuk dalam lingkup kompetensi peradilan agama. Sebenarnya, pada level hukum formil (hukum acara) tidak ada persoalan dengan peradilan agama, karena secara faktual selama ini peradilan agama menggunakan hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum dan dalam hal tertentu menggunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam undang-undang organik peradilan agama.
Berdasarkan kesimpulan di atas, perbedaan penafsiran terhadap kompetensi peradilan agama dalam perkara ekonomi syariah seharusnya tidak perlu dijadikan sebagai kendala dan hambatan dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah di lingkungan peradilan agama. Justru, masalah krusial yang harus menjadi perhatian pihak-pihak terkait adalah menyangkut kelengkapan perangkat hukum, institusi dan administrasi yang menopang bagi terselenggaranya penyelesaian perkara ekonomi syariah sebagaimana diamanatkan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 21 Tahun 2008 sesuai dengan prinsip keadilan, ketertiban dan kepastian hukum.
Dalam rangka memperkuat kompetensi peradilan agama dalam perkara ekonomi syariah ini, maka secara otomatis peradilan agama harus mempersiapkan diri dengan memperkuat SDM para hakimnya. Para hakim peradilan agama harus menguasai seluk beluk ekonomi syariah, baik berkaitan dengan hukum materiil, hukum acara serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Sejalan dengan itu, tuntutan peningkatan kinerja, mutu pelayanan, kualitas  dan integritas serta didukung oleh profesionalitas aparat peradilan, akan berimplikasi pada peningkatan kepercayaan masyarakat pencari keadilan terhadap lembaga peradilan. Dengan penambahan kompetensi absolut peradilan agama dalam menangani perkara ekonomi syariah sesuai dengan amanah UUPA dan UUPS  beban tugas dan tanggung jawab peradilan agama semakin kompleks dan dinamik. Untuk itu penulis merekomendasikan kepada pihak terkait agar segera merealisasikan rencana pembagian tugas dan tanggung jawab hakim ke dalam dua kategori; Pertama, hakim-hakim yang khusus menangani perkara al-ahwâl al-syakhsiyyah; dan Kedua, hakim-hakim yang secara khusus menangani perkara-perkara niaga (ekonomi syariah).






















DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, “Masalah-masalah Hukum dalam Pelaksanaan Ekonomi Syariah”, Makalah pada Rapat Kerja Kelompok Kerja Perdata Agama Mahkamah Agung RI, di Cisarua-Bogor, pada 16-17 Maret 2007.
Afdol, Kewenangan Peradilan Agama Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 dan Legislasi Hukum Islam dik Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press, tt.
Alam, Andi Syamsu, Beberapa Permasalahan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama, dalam ceramah Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama MA-RI pada Pelatihan Hakim se-JABODECITABEK di Jakarta, 31 Maret s/d 1 April 2008.
Al-Attas, Naquib, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Bandung: Mizan, 1997, cet. II.
Al-Haddad, Alwi ibn Thahir, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Jakarta: Lentera, 2001.
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya, Jakarta: Ghalia  Indonesia, 2002.
Ali, Mohamad Daud, Hukum Islam di Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
_______, “Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Tjun Suryaman, (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktik, Bandung: Rosdakarya, 1991.
_______, Hukum Islam, UU PA, dan Masalahnya”, dalam Cik Hasan Bisri, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Bandung: Ulil Albab Press, 1997.
_______, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1990.
Ali, Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, cet. I.
Anshari, Abdul Ghafur, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006: Sejarah, Kedudukan, & Kewenangan, Jogyakarta: UII Press, 2007.
Aripin, Jaenal, Reformasi Hukum di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Peradilan Agama: Analisis Terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Era Reformasi, Disertasi, Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2007.
Ariyanto dkk., “Tak Sekadar Menangani Kawin Cerai (Kolom Hukum)”, Trust Majalah Berita Ekonomi dan Bisnis, Edisi 27 Tahun IV, 17-23 April 2006, h. 70.
Arto, A. Mukti, Majalah Hukum Varia Peradilan, Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri: Penerapan  Asas  Personalitas Keislaman sebagai Daras Penentuan Kekuasaan Pengadilan Agama, dalam Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Peradilan Agama dan Mahkamah Syariyah, Jakarta, Kencana, tt.
Arto, Mukti, Peluang dan Tantangan Praktisi Hukum Terhadap Perluasan Kewenangan Peradilan Agama Pasca Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Perluasan Kewenangan Peradilan Agama Pasca Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, diselenggarakan oleh Jurusan Muamalat fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, di Yogyakarta, 20 Mei 2006.
Asshiddiqie, Jimly, Aktualisasi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional,” Bahan Keynote Speaker pada acara Internasional Seminar Islamic Law in Southeast Asia: Oportunity & Chalenge, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 7 Desember 2007.
Azhari, Rasyid, Sejarah Peradilan Agama Tanjung Redep, vide surat Ditjenbimbaga Islam pada catatan kaki No. 77.
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madina dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gema Meida, 2002.
Basyir, Ahmad Azhar, “Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa,” dalam Dadan Muttaqin, et.all (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1999.
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996.
_______, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Buchari, Yusuf, “Pengadilan Agama dan Eksekusi barang Jaminan di Perbankan Syariah”, http://pa-kendal.net/index.php?option=com_content&task
Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Halim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Hamid, M. Arifin, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia: Perspektif Sosio-Yuridis, Jakarta: eLSAS, 2008, cet. II.
Harahap, Yahya, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Perdilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), Pustaka Kartini, 1997, cet. III.
Hasjmy, Ali, Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia: Kumpulan Prasaran pada Seminar di Aceh, Banda Aceh: Al-Maarif, 1981, cet. I.
Hutabarat, Ramli, Kedudukan hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinan Hukum Nasional, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Irsyad, Syamsuhadi, “Eksistensi Peradilan Agama Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006”, Makalah, 10 Juli 2006, h. 10.
Karim, Adiwarman, Choice of Forum Perbankan Syariah”, www.mui.or.id/mui_in/hikmah.php?id=50.
Lev, Daniel S., Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu Studi tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, (terj.) Zaini Ahmad Noeh, Jakarta: PT Intermasa, 1986.
Lubis, Nur A. Fadhil, “Peluang dan Tantangan Peradilan Agama dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, kerjasama Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara dengan MA. RI, Medan, 27 Oktober 2007.
Mahkamah Agung RI, Kapita Selekta Perbankan Syariah: Menyongsong Berlakunya UU. No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU. No. 7 Tahun 1989 (Perluasan Wewenang Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI, 2006.
Manan, Abdul, “Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah”, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007.
Manan, Bagir, “Kebijakan Mahkamah Agung Dalam Perkara-perkara Syariah Setelah Satu Atap,” dalam Ahmad Kamil (ed.), Teori Akad dan Aspek-aspek Hukum Bisnis dalam Ekonomi Syariah, Dihimpun Untuk Kalangan Sendiri, 2006.
_______, Peradilan Agama Dalam Perspektif Ketua Mahkamah Agung”, dalam Kumpulan Pidato Prof. Dr. Bagir Manan, SH, M.CL., Jakarta: Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2007.
Mubarak, Jaih, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia”, Artikel diakses pada tanggal 23 Oktober dari www.badilag.net
_______, “Memahami Lembaga Peradilan Agama,” Makalah pada Acara Pemahaman Undang-Undang Pengadilan Agama Departemen Hukum dan HAM RI, Tangal 7 September 2006 di Yogyakarta.
Razak, Abdul, Menanti RUU Perbankan Syariah”, artikel dalam Jurnal Nasional, 13 Juni 2007.
Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001, cet. I.
Sjahdeini, Sutan Remy, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2005.
Suparman, Eman, Pergeseran Kompetensi Pengadilan Negeri dalam Menyelesaikan Sengketa Komersial, http://resources.unpad.ac.id
Sutadi, Mariana, “Titik Singgung Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum”, dalam Ceramah Wakil Ketua MA-RI Bidang Yudisial pada Pelatihan Hakim se-JABODECITABEK di Jakarta, 31 Maret s/d 1 April 2008.
_______, “Pendayagunaan Perdamaian Menurut Pasal 130 HIR/154 R.Bg dan Potensinya Dalam Mewujud Keadilan Yang Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan”, dalam Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005.
Syaifuddin, Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah,” dalam Tarigan, Azhari Akmal, (ed.), Pergumulan Ekonomi Syariah di Indonesia: Studi tentang Persentuhan Hukum & Ekonomi Islam, Bandung: Cita Pustaka Media, 2007.
Tarigan, Azhari Akmal, (ed.), Pergumulan Ekonomi Syariah di Indonesia: Studi tentang Persentuhan Hukum & Ekonomi Islam, Bandung: Citapustaka Media, 2007.









1 komentar:

Unknown mengatakan...

Assalamu'alaikum wr wb..
abg.. izin kopy ya.. utk bahan kuliah..
terimakasih

Posting Komentar