Akte Lahir Tidak Perlu Ke Pengadilan

Para orang tua yang terlambat mengurus akta kelahiran anaknya boleh sedikit lega. Soalnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan sejumlah pasal dalam  UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) yang isinya dianggap merepotkan para orang tua yang telat mengurus akta kelahiran anaknya.

Pasal 32 ayat (1) UU Adminduk misalnya yang merumuskan, ‘Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sampai dengan 1 (satu) tahun sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Kepala Instansi Pelaksana setempat.’
Atau bahkan ketentuan ayat (2) dari pasal yang sama yang isinya mengharuskan orang tua untuk mendapat persetujuan terlebih dulu dari pengadilan negeri bila terlambat mencatatkan kelahiran anaknya lebih dari setahun.
Dalam putusannya, MK mengganti kata ‘persetujuan’ dalam Pasal 32 ayat (1) dengan kata ‘keputusan’. MK juga membatalkan frasa “sampai dengan 1 (satu) tahun” dalam ketentuan itu.
Dengan demikian, Pasal 32 ayat (1) UU Admininduk selengkapnya menjadi, “Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan Kepala Instansi Pelaksana setempat.
Selain itu, Mahkamah juga membatalkan keberadaan Pasal 32 ayat (2) yang mengatur pencatatan kelahiran yang melewati satu tahun, dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
“Frasa ‘dan ayat (2)’ dalam Pasal 32 ayat (3) UU Adminduk juga bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua Majelis MK, M. Akil Mochtar saat membacakan putusannya di Gedung MK, Selasa (30/4).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai pelayanan akta kelahiran menjadi rumit dan berbelit-belit akibat kelahiran yang terlambat dilaporkan kepada Instansi Pelaksana setempat yang melampaui batas waktu 60 hari hingga 1 tahun dan harus dengan persetujuan Kepala Instansi Pelaksana setempat. Ditambah lagi, jika lewat 1 tahun harus dengan penetapan pengadilan seperti diatur Pasal 32 ayat (2).
Karena itu, frasa “persetujuan” dalam Pasal 32 ayat (1) UU Adminduk dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam proses penerbitan akta kelahiran karena persetujuan bersifat internal di Instansi Pelaksana. Karena itu, demi kepastian hukum yang adil, dicatat atau tidak dicatatnya kelahiran yang terlambat dilaporkan seperti dimaksud Pasal 32 ayat (1) perlu keputusan dari Kepala Instansi Pelaksana.
“Sehingga frasa “persetujuan” dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang a quo harus dimaknai sebagai “keputusan” Kepala Instansi Pelaksana,” tutur Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.  
Menurut Mahkamah, keterlambatan melaporkan kelahiran melebihi satu tahun yang harus dengan penetapan pengadilan memberatkan masyarakat. Baik yang tinggal jauh di daerah pelosok, maupun di perkotaan. Lagipula, proses di pengadilan bukanlah proses yang mudah bagi masyarakat awam, sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya hak-hak konstitusional warga negara terhadap kepastian hukum.
Proses memperoleh akta kelahiran yang membutuhkan prosedur administrasi dan waktu yang panjang serta biaya yang lebih banyak dapat merugikan penduduk. Karena itu, Pasal 32 ayat (2) UU Adminduk selain bertentangan UUD 1945, hal tersebut juga bertentangan dengan prinsip keadilan. Karena keadilan yang tertunda sama dengan keadilan yang terabaikan (justice delayed, justice denied).
“Jadi, frasa “sampai dengan 1 (satu) tahun” dalam Pasal 32 ayat (1) UU Adminduk menjadi tidak relevan lagi setelah Pasal 32 ayat (2) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, frasa “sampai dengan 1 (satu) tahun” dalam Pasal 32 ayat (1) harus pula dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tegasnya.
Usai sidang, salah satu pemohon Sholeh Hayat sangat bersyukur dengan dikabulkan pengujian ini. “MK telah memperhatikan kepentingan masyarakat yang selama ini sulit mengurus akta kelahiran. Sejak putusan ini, masyarakat akan dipermudah mengurus akta kelahiran, tidak perlu lagi ke pengadilan,” kata Sholeh.        
Untuk diketahui, permohonan ini diajukan tiga anggota DPRD Jawa Timur yaitu Sholeh Hayat, Subroto Kalim, dan Bambang Juwono. Mereka bertindak sebagai kuasa dari seorang tukang parkir bernama Mutholib yang berdomisili di Jawa Timur.
Pemohon menilai Pasal 32 ayat (2) UU Adminduk yang mensyaratkan adanya penetapan pengadilan negeri jika terlambat mengurus akta kelahiran satu tahun lebih merupakan norma yang diskiriminatif.
Soalnya, syarat itu dinilai telah menimbulkan ekses dan implikasi memberatkan dan menyulitkan masyarakat mengurus akta kelahiran anaknya. Terutama, yang bertempat tinggal jauh dari Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dipendukcapil) dan pengadilan negeri. Selain itu, pungutan biaya pengurusan akta kelahiran sangat memberatkan hingga mencapai ratusan ribu rupiah.

sumber
hukumonline.com

0 komentar:

Posting Komentar